sport
Langganan

CATATAN AKHIR TAHUN : Tragedi Memalukan Sepak Bola Gajah & Prestasi Timnas Jeblok - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Imam Yuda Saputra Jibi Solopos  - Espos.id Sport  -  Senin, 22 Desember 2014 - 11:15 WIB

ESPOS.ID - Aksi sepak bola gajah antara PSS Sleman melawan PSIS Semarang menjadi catatan memalukan. Ist/Dok

Esposin, -- Memalukan!!! Begitulah reaksi publik sepak bola Tanah Air dalam jejaring sosial Youtube ketika melihat cuplikan laga Divisi Utama 2014 antara PSS Sleman dan PSIS Semarang, 26 Oktober lalu.

Publik sepak bola Indonesia merasa jijik dengan ulah pemain kedua klub itu, baik PSS maupun PSIS, yang sengaja menjebol gawangnya sendiri agar menerima kekalahan dalam laga delapan besar DU 2014. Total ada lima gol bunuh diri dalam pertandingan yang menghadirkan PSS sebagai pemenang dengan skor 3-2 itu.

Advertisement

Aksi pemain dari kedua klub ini semakin membuat malu publik Tanah Air setelah beberapa media asing turut mengulasnya, seperti The Guardians,101greatgoals hingga Blacher Reports. Bahkan The Guardians, menyebutkan alasan kedua klub itu yang sengaja mengalah karena ingin menghindari Pusamania Borneo FC di semifinal. Keduanya begitu takut bertemu dengan Borneo FC, yang akhirnya tampil sebagai jawara DU, karena diduga mendapat dukungan dari mafia sepak bola di Tanah Air.

Para pelaku sepak bola gajah saat ini sudah mendapat sanksi dari Komisi Dispilin (Komdis) PSSI, mulai dari hukuman seumur hidup hingga denda ratusan juta. Namun, insiden ini tak lantas membersihkan noda yang mencoreng persepakbolaan Tanah Air sepanjang 2014.

Berbagai peristiwa, mulai dari insiden kerusuhan antarsuporter yang menelan korban jiwa hingga jebloknya prestasi tim nasional Indonesia, di berbagai jenjang usia, seakan menjadi tabir gelap yang terus menyelimuti perjalanan sepak bota Tanah Air.

Advertisement

Setidaknya ada beberapa kerusuhan antarsuporter yang menimbulkan empat korban jiwa sepanjang 2014 ini. Kerusuhan terbaru yang memakan korban terjadi di Stadion Manahan, saat Persis Solo menjamu Martapura FC pada laga delapan besar, 22 Oktober lalu.

Kerusuhan dipicu atas kekecewaan suporter atas kepemimpinan wasit Ahmad Japri, yang dianggap berat sebelah. Dalam kerusuhan itu satu orang dinyatakan tewas, bernama Joko Riyanto, warga Simo, Boyolali, dengan luka tusukan benda tumpul di dada sebelah kanannya.

Akibat kerusuhan ini, Komdis PSSI pun mengeluarkan sanksi bagi Kota Solo. Badan organisasi PSSI pimpinan Hinca Panjaitan itu memberikan larangan kegiatan sepak bola di Kota Bengawan, selama enam bulan.

Berbagai kerusuhan antarsuporter ini pulalah yang membuat laga final Indonesia Super League harus dipindah dari Stadion Gelora Utama Bung Karnco ke Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang.

Advertisement

Keputusan PT Liga Indonesia (LI) sebagai operator ISL dan DU, memindahkan lokasi laga final tak terlepas dari kesuksesan Persib Bandung yang melaju ke partai puncak. PT LI khawatir terjadi kerusuhan mengingat hubungan suporter Persib dengan Jakmania, pendukung Persija Jakarta, selaku suporter tuan rumah, yang tidak harmonis.

Dalam laga final itu, Persib tampil sebagai jawara setelah mengalahkan Persipura dalam drama adu penalti dengan skor 5-3. Keberhasilan ini seakan menghapus penantian Persib yang tak pernah meraih juara sejak 20 tahun terakhir.

Sayang, kesuksesan Persib ini tak berimbas pada prestasi Timnas Indonesia. Sederet pemain Persib, yang diandalkan Indonesia tampil di ajang AFF gagal memberikan kontribusi.

Merah Putih bahkan kembali gagal mengukir prestasi, setelah tersingkir di fase grup. Firman Utina dkk. bahkan meraih hasil memalukan dalam sejarah Piala AFF setelah dipermalukan Filipina 0-4.

Advertisement

Prestasi timnas senior ini seakan seiring sejalan dengan para juniornya yang juga berkancah di level internasional. Di level usia 19 tahun, Evan Dimas Darmono dkk. gagal mewujudkan asanya tampil di Piala Dunia U-20, setelah hanya bertahan di fase grup pada Piala AFC U-19.

Padahal semula Evan Dimas dkk. sempat membangkitkan harapan publik Indonesia setelah lolos ke putaran final Piala AFC U-19 kali pertama dalam 10 tahun terakhir. Selain lolos dengan predikat memuaskan karena mengalahkan juara bertahan Korea Selatan di babak kualifikasi, pasukan Indra Sjafri itu juga menyandang predikat sebagai jawara AFF U-19 2013.

Namun, toh harapan tak sesuai dengan kenyataan. Dalam tiga laga yang dilakoninya di fase grup AFC U-19, skuat Garuda Jaya, tak sekalipun mampu meraih kemenangan di Myanmar, Oktober lalu.

Meski intervensi pemerintah ini bisa berimbas sanksi dari FIFA, toh langkah tegas ini sepertinya perlu diberikan. Sebab sudah lama Indonesia merindukan prestasi di kancah internasional. Indonesia kali terakhir berprestasi di kancah internasional adalah kala meraih medali emas di SEA Games 1991 Manila atau sekitar 23 tahun yang lalu.

Advertisement

Sementara itu, hasil serupa juga dialami Timnas U-23 yang berlaga di Asian Games 2014, Incheo, Korsel, Agustus lalu. Ambisi melaju ke perempat final harus dikubur dalam-dalam skuat racikan Aji Santoso, setelah hanya bertahan di penyisihan.

Eks pelatih Timnas Indonesia, Rahmad Darmawan, menganggap bobroknya prestasi Indonesia ini lebih dikarenakan pengaturan sistem di persepakbolaan Tanah Air yang karut marut. Jadwal kompetisi baik di ISL maupun DU seakan tak berpihak bagi persiapan timnas untuk menghadapi event di berbagai level internasional.

“Para pemain [timnas senior] seakan kelelahan saat menghadapi laga [Piala AFF]. Seharusnya ada waktu persiapan lebih banyak bagi mereka agar lebih siap,” ujar Rahmad Darmawan, kepada Espos beberapa waktu lalu.

Berbeda diungkapkan Wali Kota Solo, F.X. Hadi Rudyatmo. Rudy yang pernah menjabat sebagai anggota Komite Normalisasi PSSI ini menilai jebloknya prestasi timnas tak terlepas dari campur tangan mafia dalam persepak bola Tanah Air.

Mafia ini disinyalir berada dalam tubuh PSSI. Mereka berperan dalam pengaturan skor (match fixing) dalam berbagai laga, baik di kompetisi ISL maupun DU.

Insiden sepak bola gajah pun disinyalir tak terlepas dari keterlibatan para mafia. Mereka menginginkan hasil tertentu untuk memuluskan langkah timnya promosi ke ISL musim depan.

Advertisement

“Selama masih ada mafia jangan harap sepak bola Indonesia akan maju. Berantas dulu para mafia ini. Pemerinta harus turun tangan. Enggak apa-apa Indonesia kena sanksi. Paling cuma beberapa tahun. Setelah itu, Indonesia bisa maju dan bisa juara di Asian Games 2018 nanti,” ungkap Rudy beberapa waktu lalu.

Keberadaan para mafia ini memang masih belum ketara hingga saat ini. Namun, sinyal keberadaan mereka menjadi dasar pembentukan Tim Sembilan yang digagas oleh Menpora Imam Nahrawi.

Tim Sembilan akan bertugas mengevaluasi peran dan keberadaan PSSI. Alhasil, kejanggalan-kejanggalan dalam hasil pertandingan kompetisi hingga pembinaan para pemain untuk Timnas akan mendapat sorotan langsung dari pemerintah. (Imam Yuda Saputra/JIBI/SOLOPOS)

Advertisement
Mulyanto Utomo - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif